Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network Denny JA menilai, wajar saja Undang-Undang Pemilu terus menjadi polemik meski sudah diputuskan. Dia menilai ada cacat yang fundamental dalam ketuk palu undang-undang tersebut.
Sedikitnya ada 3 faktor UU Pemilu menjadi cacat yang sangat fundamental. Pertama, dilanggarnya prinsip kesamaan hak dan posisi hukum partai politik. Undang-undang Pemilu memberikan ruang bagi hadirnya partai baru, yang untuk pertama kali akan ikut pemilu di 2019. Namun partai baru itu tak diberikan hak sama untuk menentukan calon presiden.
Kedua, UU Pemilu meniadakan hak warga untuk tak setuju pilihannya pada partai di satu pemilu digunakan untuk basis kekuatan partai itu pada pemilu berikutnya.
Situasi politik, ekonomi, dan kesadaran warga bisa saja berubah. Setiap warga sangat mungkin mengidolakan partai tertentu dan tokoh tertentu di satu pemilu. Namun pada pemilu berikutnya, partai dan tokoh itu bisa pula berubah justru menjadi musuh utamanya.
Ketiga, ambang batas presiden 20-25% sebagai syarat pengajuan capres 2019 mengacaukan desain kelembagaan demokratis yang ingin diterapkan di Indonesia. Presidential threshold yang dipaksakan pada pemilu serentak bahkan diwacanakan untuk memperkuat sistem presidensialisme.




Tidak ada komentar: